Selasa, 15 Desember 2020

Kesungguhan Menuntut Ilmu - Belajar dari Kisah Sahabat dan Ulama Salaf

Kesungguhan Menuntut Ilmu para Ulama

Komponen kedua kesuksesan untuk bisa sukses belajar adalah kesungguhan menuntut ilmu. Untuk mendapatkan ilmu, para sahabat rela menempuh jarak yang jauh, sebagaimana kisah Umar bin Khattab berikut ini.


kesungguhan-menuntut-ilmu
Kesungguhan menuntut ilmu ulama salaf

Kisah Kesungguhan Sahabat dalam Menuntut Ilmu

“Aku dan tetanggaku dari kalangan Anshar bertempat di kampung Umayyah bin Zaid, sebuah kampung yang terletak jauh dari kota Madinah. Kami silih berganti mengunjungi Rasul. Hari ini tetanggaku yang menungunjunginya, hari esoknya aku yang pergi. 

Jika aku menungjungi, maka kau sampaikan kepada tatanggaku itu segala apa yang kudapatkan dari Rasulullah, demikian juga bila ia pergi, ia berbuat seperti yang kulakukan”.

Contoh lain kesungguhan menuntut ilmu adalah kisah perjalanan sahabat Rasulullah, Abu Ayyub al Anshari yang pergi dari Madinah menuju Mesir untuk menemui Uqbah bin Amir hanya untuk memastikan kebenaran hafalannya tentang hadits Rasulullah berikut :

“Siapa yang menutupi aib seorang muslim di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di akhirat kelak”. 

Setelah Uqbah memastikan kebenaran hafalannya Abu Ayyub, tanpa berlama-lama Abu Ayyub pulang kembali ke Madinah.

Perhatikanlah, hanya demi satu hadits, para sahabat rela menempuh perjalanan yang begitu jauh. Bagi mereka ilmu lebih mahal daripada mutiara, bahkan nilai ilmu tidak bisa dibandingkan dengan mutiara. Tapi mengapa pada saat ini kita menyia-nyiakan ilmu? Kenapa kesungguhan menuntut ilmu sekarang begitu kecil?

Kesungguhan Ulama Salaf dalam Menuntut Ilmu

Pada suatu hari Jabir bin Abdullah mendengar sebuah hadits baru, tetapi ia mendengarkan langsung dari sahabat Rasulullah. Maka ia pun segera membeli seekor unta, dan bergegas menuju Syam yang memakan waktu selama sebulan untuk menemui Abdullah bin Unais, sabahat yang meriwayatkan hadits tersebut.

Abu ‘Aliyah seorang tabi’in yaitu generasi setelah sahabat berkata, “Kami mendengar hadits dari sahabat Rasulullah saw yang ada di Bashrah (Irak). Kami belum merasa puas, kecuali kami pergi ke Madinah untuk mendengarnya dari mulut para penduduknya”.

Katsir ibnu Qais pernah duduk-duduk bersama Abu Darda di masjid Damaskus (Syiria). Kemudian mereka berdua didatangi oleh seseorang yang kemudian berkata, “Wahai Abu Darda, aku dari Madinah datang kepadamu untuk suatu hadits yang aku dengar engkau meriwayatkannya dari Rasulullah saw”.

Abu Darda bertanya, “Dagangan apa yang kau bawa?”

Orang itu mejawab, “Aku tidak membawa barang dagangan”.

Abu Darda bertanya kembali, “Apa yang kau bawa selain itu?”

Ia menjawab, “Aku tidak membawa apa-apa”.

Lihatlah, bagaimana kesungguhan menuntut ilmu pendahulu kita ini. Dia pergi dari Madinah ke Damaskus tanpa membawa apa-apa hanya karena satu tujuan: ilmu.

Amirul Mukminin fil hadits, Abu Abdullah Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim ibnu al Mughirah ibnu Bardizbah atau yang kita kenal dengan Imam Bukhari berkata,

“Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama empat tahun. Dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Bagdad untuk menemui ulama-ulama hadits”

Padahal kita tahu, Imam Bukhari tinggal di Bukhara, suatu wilayah di Asia Tengah yang jaraknya sangat jauh dari kota-kota yang beliau singgahi.

Contoh lain dari kesungguhan menuntut ilmu adalah kisah Abdullah bin Abbas, beliau pernah berkata, 

Setelah wafatnya Rasulullah saw, saya berkata kepada seorang sahabt Anshar, Nabi saw telah meninggalkan kita, tapi masih banyak sahabat yang hidup di antara kita. Mari kita temui mereka untuk bertanya dan mengingat kembali urusan-urusan agama”.

Sabahat Anshar berkata,

“Walaupun mereka masih hidup, bukankah orang-orang senantiasa bertanya kepadamu mengenai urusan-urusan agama?”

Ibnu Abbas berkata, 

“Saya merasa tertinggal jauh dalam perkara agama. Jika ada orang yang mengatakan bahwa dirinya mengetahui tentang ilmu agama atau mengaku telah mendengar (ilmu) langsung dari Rasulullah saw maka saya akan menemuinya dan membuktikannya. Dan saya tahu kebanyakan ilmu ada pada seseorang diantara kaum Anshar”.

Ibnu Abbas kemudian berkeliling menemui sahabat-sahabat senior untuk menanyakan keberadaan sahabat Anshar yang dimaksud. Akhirnya Ibnu Abbas mendengar kabar bahwa orang yang dimaksud sedang tidur di rumahnya. 

Ibnu Abbas berkata, “Kemudian aku menuju rumahnya, lalu kuhamparkan kain untuk duduk sambil menunggu di depan rumahnya hingga muka dan tubuhku kotor oleh debu dan pasir. Walaupun demikian, saya tetap duduk menunggu di pintu rumahnya. Setelah dia bangun, aku bertanya tentang kebenaran dirinya dan memberitahu tentang maksud kedatanganku kepadanya”.

Sahabat Anshar itu berkata, “Engkau adalah keponakan Rasulullah, kenapa engkau menyusahkan diri dengan tidak memanggilku?”

Ibnu Abbas menjawab, “Saya sedang menuntut ilmu, jadi sayalah yang wajib datang kepadamu”.

Sahabat sekalian, kisah ini mengajarkan kepada kita tentang kesungguhan menuntut ilmu sahabat kecil Rasulullah sekaligus keponakan beliau dalam menuntut ilmu.

Walaupun ia harus bersuah payah kesana-kemari mencari sumber ilmu tempat ia akan menimba ilmu darinya, kemudian ia harus berpanas-panas di bawah terik matahari yang disertai dengan siraman debu dan pasir, namun ia tak peduli.

Baginya ilmu adalah barang mahal yang sangat berharga, ia harus mencarinya dengan sekuat tenaga. Bak hendak mengambil mutiara, haruslah ia menyelam ke dasar samudra.

Adab Menuntut Ilmu

Kisah inipun mengajarkan kita masalah lain : adab menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu hendaknya mendatangi sumber ilmu, bukan sebaliknya. Jika adab ini dijaga, ilmu akan tetap dipandang mulia. Namun seandainya pemilik ilmu mendatangi orang yang membutuhkannya, ilmu akan dipandang hina.

Setelah beberapa lama menetap di Naisaburi, Imam Bukhari kembali ke kampung halamannya, Bukhara. Kepulangan beliau disambut dengan meriah oleh penduduk Bukhara. 

Khalid bin Ahmad Az Zihli, penguasa Bukhara saat itu mengirim utusan kepada imam Bukhari agar beliau mengirimkan kitab shahih dan kitab tarikh kepadanya. Imam Bukhari keberatan memenuhi permintaan tersebut. 

Ia berpesan kepada para utusan itu, “Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah penguasa. Maka, keluarkanlah larangan agar aku tidak menyelenggarakan majelis ilmu. Dengan demikian, aku memiliki alasan di sisi Allah bahwa aku tidak menyembunyikan ilmu”.

Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan tiba di Madinah, ia menyuruh prajuritnya memanggil seorang ulama di masjid Nabawi untuk menghadap kepadanya. Setiba di masjid Nabawi, penjaga itu hanya menemui seorang syaikh tua, dialah Sa’id bin Musayyab. Tetapi Sa’ide menolak memenuhi permintaan khalifah, ia berkata,

“Barangsiapa memerlukan sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas kalau dia mau”.

Sahabat sekalian, demikianlah kesungguhan menuntut ilmu para pendahulu kita dan juga bagaimana mereka menjaga kewibawaan ilmu. Walaupun sarana transportasi yang ada pada waktu itu hanya unta dan kuda, berbeda dengan kita saat ini. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menemui guru-guru utama yang bisa mengajari mereka ilmu dari tangan pertama.

Mari bersama belajar dari kesungguhan ulama salaf dalam menuntut ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i - Plus 10 Prinsip

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i Bekal mencari ilmu : Komponen keempat kesuksesan dalam menuntut ilmu adalah bekal. Bekal merupa...