Senin, 14 Desember 2020

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Modal Sukses dalam Belajar

 

Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual

Mau sukses dalam belajar? modal pertama adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

kecerdasan-emosional-dan-kecerdasan-spiritual
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual

Sahabat sekalian, ada dua hal yang harus kita persiapkan sebaik mungkin agar kita sukses dalam proses belajar : akal dan hati. Akal adalah alat penangkap ilmu sedangkan hati sangat berpengaruh terhadap keefektifan kerja akal.

Orang bisa saja sukses dalam belajar hanya dengan mengandalkan otaknya. Tetapi, jika kemampuan otaknya itu dibarengi dengan kebersihan hati, maka ia akan mendapatkan sukses ganda. Yang celaka adalah jika seseorang yang kotor hatinya tidak memanfaatkan secara maksimal otaknya.

Sekitar 4000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim sempat memanjatkan do’a di kota Makkah al Mukaramah, beliau berkata,

“Ya Allah, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Hikmah, serta mensucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam do’anya tersebut, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar ia berkenan mengutus seorang rasul kepada penduduk Mekah, yang tugasnya adalah membacakan ayat-ayat, mengajarkan Al Kitab dan Hikmah, dan menyucikan hati mereka.

Utusan yang tidak hanya memiliki IQ ( Kecerdasan Intelektual ) tinggi, tapi juga memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual ( EQ & SQ ).

Selang 2000 tahun setelah Nabi Ibrahim berdoa’a, barulah Allah berkenan mengabulkan do’a beliau dengan mengutus pungkasan para nabi dan rasul Muhammad saw. Allah berfirman,

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan Al Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”

Perhatikanlah ayat di atas baik-baik! Bukankah dalam ayat ini Allah mengungkapkan kembali apa yang 2000 tahun sebelumnya pernah diungkapkan nabi Ibrahim, namun dalam susunan yang sedikit berbeda dengan do’a nabi Ibrahim.

Perhatikanlah! Jika dalam do’a nabi Ibrahim, tugas rasul yang dimaksud adalah membacakan-mengajarkan-mensucikan, namun dalam jawabannya, Allah merinci tugas rasul itu dengan susunan membacakan-mensucikan-mengajarkan.

Apakah perbedaan ini tidak berarti apa-apa, ataukah justru menyiratkan bahwa proses pembersihan hati harus didahulukan dari proses pengajaran? Karena kesuksesan dalam belajar sangat tergantung pada kebersihan hati. Mari kita renungkan masalah ini.

Kalau dulu banyak yang menaruh perhatian lebih kepada kecerdasan intelektual. Mereka beranggapan bahwa orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi maka dia bisa lebih mudah menjadi orang sukses. 

Tapi sekarang sudah berubah. Setelah diadakan penelitian, ternyata mayoritas orang sukses itu memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual lebih tinggi. Kalau dari IQ mereka bisa disebut biasa atau standar.

Kecerdasan emosional adalah kecerdasan untuk mengidentifikasi dan mengelola emosi pribadi dan juga mengidentifikasi emosi orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi adalah orang yang memiliki softskill yang kuat dan komunikator yang baik.

Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memaknai setiap aktivitas dan kejadian. Dengan memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, maka akan muncul ketenangan dan juga gairah yang baik dalam melakukan apapun. Setiap aktkivitasnya tidak hanya memakai ukuran dunia, tapi juga akhirat.

Di zaman ini, Barat telah mencapai kesuksesan dalam bidang ilmu pengetahuan karena mereka dengan bersungguh-sungguh memanfaatkan potensi akalnya.

Sementara itu, para pendahulu kita telah mendapatkan sukses ganda karena memanfaatkan karunia akal mereka secara maksimal yang disertai dengan kebeningan hati.

Dan kita, umat Islam kontemporer, benar-benar tidak memanfaatkan potensi akal kita. Sedangkan hati kita betul-betul terkotori oleh berbagai dosa yang sengaja disebar musuh-musuh Islam yang kemudian kita terperangkap di dalamnya.

Ada satu anekdot yang menceritakan bahwa di Jerman, diadakan pameran dan lelang otak manusia dari berbagai negara. Coba Anda tebak, otak bangsa mana yang harga jualnya paling mahal : Indonesia.

Apakah Anda terkejut dan bangga melihat hasil lelang tersebut? Kalau Anda terkejut, itu wajar. Tapi, kalau Anda bangga, itu babablasan. Otak orang Indonesia menjadi yang termahal karena jarang dipakai, sehingga kondisinya masih bagus. Dan barang bagus harganya mahal. Itu logikanya. Dan ini pelecehan bagi kita. Padahal, 80% bangsa Indonesia adalah muslim.

Sahabat sekalian, agar kita sukses dalam belajar, maka kita harus cerdas hati dan akal. Ini komponen pertama yang dimaksudkan imam Syafi’i. Kecerdasan yang tinggi tidak hanya dinilai dari IQ yang tinggi tapi juga EQ yang harus tinggi. Bukan hanya akal yang harus hebat, hati pun harus bersih.

IQ bersifat turunan, ia tidak bisa ditingkatkan lagi kapasitasnya. Sementara EQ, ia naik-turun kualitasnyas, tergantung pada kebaikan dan keburukan yang kita lakukan. Semakin banyak kebaikan yang kita lakukan, semakin tinggi kualitas hati. Semakin banyak berbuat dosa, semakin rendah kualitas hati. Inilah rahasianya, mengapa ketika kita belajar, pelajaran itu sulit masuk dan cepat keluar. Dosalah penyebabnya.

Maka, tinggalkanlah dosa kalau ingin kecerdasan Anda berlipat ganda.

Imam Syafi’i pernah bermadah, “Aku mengnadu kepada Waqi’ mengenai buruknya hafalanku, kemudian beliau memberikan petunjuk kepadaku agar aku meninggalkan kemaksiatan”.

Imam Waqi berkata, “ketahuilah, bahwa ilmu adalah suatu keutamaan, sedangkan keutamaan Allah tidak mungkin diberikan kepada orang yang berlaku maksiat.”

Dalam syair diatas, imam Syafi’i mengabarkan kepada kita tentang buruknya hafalan beliau. Susah ingat, mudah lupa. Kasus yang banyak menimpa kita saat ini.

Beliau kemudian mengadukan kondisi ini kepada gurunya, imam Waqi’. Imam Waqi’ kemudian memberikan nasihat agar imam Syafi’i menjauhi maksiat, karena maksiat itulah yang membuat hati kotor. Hal itu yang membuat akal tidak dapat berfungsi secara maksimal, karena kerja akal sangat dipengaruhi oleh kondisi hati.

Setelah menerima nasihat ini, imam Syafi’i menjauhi semua bentuk kemaksiatan. Hasilnnya cukup spektakuler. Ketika ia sedang berguru kepada imam Malik, imam Malik kagum atas kecerdasan otak dan kesempurnaan pemahamannya. Ia berkomentar, “Sungguh, aku telah melihat Allah memberikan cahaya di hatimu, karena itu jangan kau padamkan dengan gelapnya kemaksiatan”.

Demikianlah sahabat sekalian, jika kita telah meninggalkan kemaksiatan, akal dan hati kita akan lebih sensitif terhadap ilmu, sampai-sampai otak kita menjadi laksana kaset perekam. Ia dapat dengan mudah merekam apapun yang kita inginkan.

Imam Tirmidzi berkata, “Dalam perjalanan menuju Makkah al Mukarramah, saya telah menghafal dua juz hadits dari seorang syaikh hadits. Secara tidak sengaja, aku bertemu lagi dengan syaikh tadi. Aku memohon kepadanya agar ia mau mendengarkan dua juz kumpulan hadits. Syaikh tadi mengabulkan permohonanku. Dia tahu bahwa catatan hadits sebanyak dua juz tersebut telah ada padaku.

Setelah duduk di hadapannya, aku mulai membaca dari kertas-kertas yang kosong. Syaikh itupun mulai membaca (dari lembaran yang ia miliki).

Kemudian, ia melihat bahwa kertas yang kubaca adalah lembaran-lembaran kosong, maka iapun marah besar seraya berkata, “Kamu tidak tahu malu?”

Aku ceritakan semuanya bahwa aku telah menghafal semuanya, tapi ia tak percaya.

Kemudian syaikh tadi membacakan 40 hadits lainnya. Setelah selesai, aku mengulang 40 hadits tadi engan lancar tanpa kesalahan sedikitpun.

Sebelum keberhasilan Barat dalam dunia ilmu pengetahuan kontemporer, umat Islam telah meletakkan dasar-dasar keberhasilan itu pada abad pertengahan.

Pendidikan Islam masa itu telah berhasil mencetak banyak ulama multidisiplin. Yaitu ulama yang memiliki kemampuan dalam banyak bidang ilmu pengetahuan.

Teori tentang kecerdasan sekarang sudah berkembang. Dalam dunia pendidikan juga mulai dikenal kecerdasan majemuk. Dan para peneliti di dunia teknologi juga sedang mengembangkan kecerdasan buatan.

Yuk kita melatih kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual kita supaya lebih lebih baik sebagai modal sukses dalam belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i - Plus 10 Prinsip

Bekal Mencari Ilmu Menurut Imam Syafi'i Bekal mencari ilmu : Komponen keempat kesuksesan dalam menuntut ilmu adalah bekal. Bekal merupa...